Kamis, 11 Agustus 2011

SETITIK AIR DARI: TADARRUS PUISI "ISTIGHOSA UNTUK HARI ESOK BANGSA DAN NEGARA"

.
0 komentar


Rabu, 10 Agustus 2011 bertempat di lorong jalan Tinggas-Tinggas komunitas seniman se Sulbar berkumpul.Panggung berlatar terpal hitam, diatasnya terlihat beberapa alat musik tradisional sampai modern.Panggung di buat pendek tapi terlihat bersahaja.Tak ada kesan formal. Penikmat seni duduk bersila diatas hamparan karpet, membuat suasana menjadi santai.Acara di pandu oleh Muhammad Syariat Tajuddin.

Tak ada sekat antara pejabat dengan seniman.Darwin Badaruddin yang Kadis Kebudayaan Dan Pariwisata Polman turut membacakan puisinya.Dengan setelan putih songkok haji, nampak apik membacakan puisinya.Lagu keagamaan dari tuan rumah Teater Flamboyant Mandar juga tampil memukau.(penggunaan istilah lagu religidi hilangkan).Tampak hadir Camat Tinambung memberikan sambutannya.Dalam sepatah kata dari beliau bercerita pernah melihat penampilan Teater Flamboyant di Makassar sewaktu mementaskan lautan jilbab di gedung Manunggal waktu itu almarhum Ali Syahbana sebagai dedengkot Teater Flamboyant dan Emha Ainun Najib .

Tak ada istilah amatir atau sebaliknya, semua di beri kesempatan untuk mengepreasikan kesenimannya.Pembacaan puisi dan lagu dari Lembang-Lembang cukup lumayan untuk ukuran belia.Sewaktu turun dari panggung kudengar ada sapaan dari penonton untuk salah satu personil dari komunitas seniman Lembang-Lembang tentang balapan liar.Ternyata anak yang tampil sedikit grogi sewaktu menyanyikan lagu keagamaan sering ikut balapan liar.Mudah-mudahan dengan ikut komunitas teater, ada penyaluran potensi diri yang lain.Penulis masih ingat awal berdirinya Teater Flamboyant berawal dari keprihatinan Ali Syahbana melihat pemuda di kampung halamannya tanpa wadah yang positif untuk menyalurkan potensi dirinya.Andai beliau masih hidup akan sangat bersyukur dengan pencapaian yang di peroleh Teater Flamboyant Mandar saat ini.

Ada salah satu puisi yang unik, karena tercipta dari saling balas SMSantara Mamat dan Muhammad Syariat Tajuddin.Puisi yang tercipta dari kerinduan Mamat akan suasana puasa, karena pada saat itu Mamat berada di Bali.Di mana Adzan jarang terdengar.Sampai kalimatbau piapiada dalam bait puisinya.Saking rindunya dengan kampung halaman.

Melati 45 dari Majene dan Gema Bina Unasman tampil membawakan puisinya dengan baik.Ada yang cukup menghibur dari penampilan Sahbuddin Mahgana.Sebelum tampil, dia yang sudah berada dia atas panggung memangil seseorang untuk bersama membaca puisi.Lama yang di panggil tak muncul, Sahbuddin kemudian turun menjemputnya.Dari arah belakang penonton dia datang menenteng sesisir loka2(pisang kecil).Ternyata teman yang di panggil sejak tadi untuk menemaninya berpuisi adalah pisang kecil.Pisang kecil di berikannya kepada penonton untuk dicicipi dan menanyakan rasanya? .Loka-loka adalah judul puisi Sahbuddin Mahgana malam itu.

Padepokan Mpu tantular tampil cukup piawai juga. Ishak Jenggot yang berada dalam komunitas Sure Bolong tampil sangat harmonis dengan Mamat dalam kolaborasi musik di iringi lagu keagamaan.Walau Pai tampil singkat dengan puisinya, karena jam terbang yang lumayan tinggi maka penonton cukup terkesima di buatnya.

Keheningan di antara penonton tercipta sewaktu komunitas Palatto tampil dengan tiga personilnya Dengan konsentrasi dan penjiwaan yang tinggi membuatnya tampil menyatu dengan puisi yang di bawakannya.Makna yang ada dalam puisi dapat di resapi penonton.

Setitik air dari dunia puisi dapat menghilangkan dahaga.....

readmore »»

RAMADHAN DI KAMPUNGKU

.
0 komentar


Ada yang selalu berbeda di setiap bulan Ramadhan, perlakuan khusus yang di berikan masyarakat di kampungku (Tinambung) mulai dari awal menyambut bulan Ramadhan, menjalaninya, dan melepaskan bulan penuh berkah ini.

Di awali beberapa hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, sebagian berziarah ke makam keluarga sekaligus membersihkan makamnya.Pada malam pertama menyalakan solung (kemiri yang di haluskan dan dililitkan pada rajutan bambu) di sekeliling rumah, kadang di bawah tangga dan di kolong rumah di sekitar “posiq arriang”.Acara syukuran kecil-kecilan diadakan di setiap rumah pada malam pertama puasa.Biasanya sehabis sholat Magrib atau Isya.Semua anggota keluarga berkumpul di pimpin oleh kepala keluarga atau tetangga yang biasa memanjatkan do’a.Dengan menu makanan yang spesial (kadang memotong ayam)aneka buah-buahan yang sedang musimnya dan yang tidak pernah di lupakan loka tira (pisang ambon).

Ada yang khas sholat tarwih di mesjid- mesjid di kampungku, pada awal puasa biasanya jumlah jamaah pada hari pertama lumayan banyak.Seiring dengan waktu, jumlah jamaah tarwih semakin berkurang.Hanya ada pengecualian pada 17 Ramadhan dan 27 Ramadhan pada malam itu biasanya ada peningkatan jumlah jamaah sholat tarwih.Di kampungku hampir semua mesjid melaksanakan sampai tarwih 20 dilanjutkan dengan witir.Sehabis sholat di lanjutkan Tadarrusan.

Menjelang sahur dari mesjid terdengar suara membangunkan untuk melaksanakan sahur.Kadang anak2 keliling kampung berteriak “sahur” sambil memukul jergen, kaleng, dll .

Setelah Sholat shubuh ada istilah “jalan-jalan shubuh”.Biasanya banyak di lakukan kaum muda.Jembatan Tinambung di jadikan tempat terakhir mereka bersendau-gurau, sambil menyaksikan anak-anak membunyikan alat peledak yang terbuat dari busi bekas di isi dengan belerang dari korek api.Kadang di jembatan di adakan balapan liar pada waktu menjelang buka (ngabuburit) dan pagi hari.Di pinggir-pinggir sungai Mandar kadang terdengar “ pappalippa pattung” (bentuknya seperti meriam yang terbuat dari bambu).Dulu kadang ada persaingan bunyi pattung yang paling keras antara pattung yang ada di sebelah timur dan barat sungai Mandar.

Sore hari sepanjang bulan Ramadhan pasar “dadakan” muncul.Aneka jajanan kue disajikan penjual seperti : sambusa, jalangkote, panada,pisang ijo,katiri mandi, lopis,kue lapis,es buah,gogos,taripang, buah rangas,roko-roko unti,kui-kui,agar-agar,putu manyang, onde-onde,dll.Penjual yang sudah menjual bertahun-tahun akan mngetahui waktu-waktu dagangannya laris, yaitu awal puasa (pada saat itu orang masih malas membuat kue sendiri) dan akhir puasa (karena orang sudah fokus membuat kue kering).

Pada akhir puasa, malam lebaran di laksanakan takbiran.Kendaraan dari berbagai mesjid berkumpul di halaman Mesjid Raya Tinambung.Mobil di hiasi dengan nuansa Islami, ada yang membawa bedug, miniatur mesjid dll.Star dari Mesjid Raya puluhan motor dan mobil akan berkeliling kampung menyerukan kebesaran Sang Khalik.Pada malam itu terlihat di halaman rumah-rumah penduduk banyak yang sedang memasak buras dan ketupat.

readmore »»

Sabtu, 06 Agustus 2011

MINYAK TANAH RIWAYATMU KINI....

.
2 komentar


Sementara dengar lagunya Iwan Fals...(gara2 BBM naik tinggi, susu tak terbeli....)ide ini muncul untuk menulis tentang BBM.Minyak tanah untuk saat ini sesuatu yang langka.Mungkin suatu saat nanti kita hanya akan menjumpainya di musium saking langkanya, atau masuk dalam daftar “barang” yang di lindungi hehe...seperti anoa , cendrawasih atau nasibnya akan sama dengan dinosaurus yang benar2 sudah punah....

Saya yang termasuk makhluk hawa jelas akrab dengan minyak tanah, berkutet dengan dapur jelas butuh bahan bakar untuk mematangkan makanan.Sudah satu bulan ini saya barangkali salah satu dari sekian banyak orang yang stresss dengan “makhluk” yang namanya minyak tanah.Angkanya menembus sepuluh ribu per liter (niru pembawa berita di TV hehe).Sudah mahal, jergen harus antri malah kadang harus kos2an di agen kadang sampai bulanan.(untung agennya ndak nagih uang kos an).

Ngerti ...kalau selama ini minyak tanah di subsidi pemerintah dan trik agar rakyatnya pakai gas semua.Makanya minyak tanah di bikin mahal....

Tapi saya termasuk makhluk langka juga (terserah kalau mau di cap kampungan hehe..).Saya trauma sama kompor gas.Jadi saya sampai saat ini tidak punya kompor gas.Kadang keluarga dan teman2 meledek...bermula tahun 1987(hapal tahunnya saking trauma) dengar tabung gas tetangga meledak walaupun titik api tidak bermula dari situ.Satu kompleks perumahan habis di lahap si jago merah tanpa tersisa termasuk rumah orang tua. Saat ini kalau di rumah sepupu atau teman2 saya berani pakai kompor gas.Tapi kalau di rumah masih takut (serasa kompor gas adalah bom yang sewaktu-waktu akan meledak).
Awal Ramadhan ini’ saya benar2 berpikir keras apakah akan mematuhi anjuran pemerintah untuk beralih ke gas.Pernah satu minggu karena ndak dapat2 minyak tanah saya pakai kayu bakar,walau rasa makanan terasa enak kalau memakai kayu.Tapi kadang tidak efesien, apalagi kalau mesti buru2 karena ada pekerjaan lain.Andai pemerintah pintar, bukannya beralih ke gas (yang suatu saat akan habis juga) tetapi ke alternatif lain misalnya penggunaan sinar surya atau yang lainya yang ramah lingkungan.

Kembali ke cerita minyak tanah....Minyak tanah pernah beberapa tahun sangat” akrab” dengan duniaku.Sejak duduk di sekolah dasar dapat tugas dari orang tua mengantar mobil tangki minyak tanah ke ke pengecer2, rutin 2x seminggu.Saking akrabnya dulu saya dapat membedakan bau minyak tanah, solar maupun bensin.Tapi sejak pembatasan beberapa tahun lalu oleh pemerintah terhadap pangkalan minyak tanah, total membuat usaha ortu terhenti.Kadang kasian juga lihat ratusan drum yang sudah mulai berkarat.

Minyak tanah riwayatmu kini............
(niru lagu Bengawan Solo....)
akankah nilaimu akan menembus level diatas sepuluh ribu per liter...???
tanyakan pada rumput yang bergoyang.....

readmore »»

Jumat, 05 Agustus 2011

EKSPEDISI KORAN MANDAR

.
0 komentar


Sabtu,23 juli 2011 sekitar jam 16.00 berdua dengan Muhammad Ridwan Alimuddin saya menjemput Muliadi memasuki kota Tinambung.Dengan memakai baju kaos warna putih bertuliskan “Ekspedisi Koran Mandar” .Kata “ekspedisi” mengingatkanku pada Ahmad Yunus dan Farid Gaban. Dua wartawan senior yang menamai perjalanannya “ Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa” mengelilingi Indonesia memakai motor Trail.Ada haru melihat Muliadi’ ketika saya tanya apakah capek? Cuma di balas senyuman sambil mengayuh sepedanya.

Tiba di Tinambung di rumah Muhammad Zauki, setelah ngorol sebentar dengan keluarga Muhammad Zauki dan teman-teman yang menunggu kedatangan Muliadi .Muliadi melanjutkan perjalananya menuju rumahnya di Pa’giling.Di beranda rumah dengan ditemani pisang goreng memulai obrolan dengannya.

Muliadi anak sulung dari enam bersaudara pasangan suami istri Syamsuddin Syah (almarhum) dan Saenal , sukses menempuh perjalanan dari Makassar ke Tinambung Polman dengan mengendarai sepeda sendiri.Ide ini berawal Juni bulan lalu, ketika tiba-tiba jam 02.00 dini hari terbangun dari tidurnya.Ada keinginan kuat untuk kembali bersepeda ke Tinambung.Barangkali bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Muliadi sesuatu yang “gila”.Tapi baginya inilah “Universitas Kehidupan” tempatnya belajar arti hidup.Siang yang panas dan dinginnya malam di tempuhnya dengan semangat. Tak ada keinginan kembali ke Makassar atau naik mobil.Pepatah Mandar “Takkalai di sombalang dotai lele ruppu dadi natuali dilolangan” (sekali perahu kembangkan layar lebih baik tenggelam dari pada balik di tengah jalan).Sepenggal ungkapan yang menyimbolkan keberanian dan tekad mengarungi lautan di kalangan pelaut dan nelayan Mandar, betul-betul di aplikasikan dalam hidupnya.Banyak cerita dalam perjalanannya mulai dari kehilangan sandal di mesjid Kaballangan, tidur di penjual salak Lasape dengan perasaan was-was karena takut kehilangan sepeda (membuat tidurnya tidak nyenyak), bertemu Pak Alimuddin Karim gurunya sewaktu SMU Layonga (yang sedang naik mobil ke Makassar) kaget mengetahui Muliadi naik sepeda dan cerita lainnya.


Perjalanan yang dirasa agak berat sewaktu di daerah Suppa sekitar pukul 17.00, beberapa kilometer sesudah kota Pare-pare.Medan jalan yang mendaki membuat pahanya terasa letih.
Tammat SMU Layonga tahun 2000.Muliadi berangkat ke Makassar’ dengan sepeda kesayangannya naik bus Piposs.Sepeda ini di belinya dari gurunya di SMU, Pak Komar.Seharga tiga ratus ribu rupiah dari uang hasil penjualan kambing peliharaannya.Harga sepeda ini sebenarnya mahal,tetapi karena Muliadi termasuk salah satu murid kesayangan Pak Komar maka cuma di beri dengan harga begitu.Di Makassar Muliadi mengikuti kursus teknik listrik di BLK.Kursus bahasa Jepang dan komputer di Aliah.Rutunitas hidupnya di Makassar di jalaninya dengan naik sepeda, menyebabkan hampir semua jalanan di Makassar sudah dilaluinya.Mulai dari jalanan besar sampai lorong-lorong “tikus”.

Tahun 2005 untuk pertama kalinya, Muliadi bersepeda dari Makassar ke Tinambung.Motivasinya saat itu adalah dari orang-orang terdahulu yang masih mengandalkan dokar dan sepeda untuk menempuh perjalanan Makassar ke Mandar.Muliadi berpikir masa orang dulu bisa, dia tidak. Saat itu Muliadi Cuma menempuh Makassar –Tinambung selama satu hari.

Walau masih dalam keadaana capek’ Muliadi tetap bersemangat bercerita.Kami berempat membongkar ransel kecil yang menemaninya dalam perjalanan.Di dalamnya cuma berisi : Pocari sweat (6 sachet),obat-obatan,Biore Men,kunci-kunci sepeda, dan sekeping kaset VCD Nikita Willy bertuliskan Religi Menyambut Ramadhan (jadi bahan candaan sore itu,ternyata Muliadi fans sama Nikita Willy). Baginya sepeda yang di gunakan tahun 2005 lebih enak di pakai karena ban nya kecil, walaupun sepeda yang digunakkan tahun ini lebih bermerek.

readmore »»

Kamis, 04 Agustus 2011

Menimba Ilmu dari Traveller Kawakan (Bagian 3 – Selesai)

.
0 komentar

Rabu, 6 Juli 2011, Ebbie Vebri Adrian tiba di Mamuju. Selama di Mamuju mengunjungi Bukit Kelapa Tujuh, Air Terjun Tamasapi, Permandian Soddo, Taman Wisata Jati Gentungan, dan Pantai Lombang-Lombang. Kadang sendirian mengunjungi tempat-tempat tersebut; kadang ditemani peminat fotografi di Mamuju.

Esok lusanya, 8 Juli 2011, bertempat di Aula Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat Ebbie kembali mengadakan diskusi fotografi. Suasananya tenang jauh dari dari jalan raya. Soalnya terletak di kompleks perkantoran pemerintah Provinsi Sulawesi Barat yang sedang dalam tahap pembangunan. Ebbie memulai diskusi dengan menceritakan perjalanan Travellingnya.

Ebbie vebri adrian memulai traveller tahun 2005. Untuk provinsi Sulbar ini adalah kunjungannya yang ke tiga kali. Kadang kala suatu tempat di Indonesia, Ebbie kunjungi lebih dari satu kali. Saat ini dia lebih kenal sebagai traveller photografi. Walaupun niat pertamanya cuma ingin melihat Indonesia secara dekat.

Awal tahun 2005, belajar motret pertama kali dengan menggunakan kamera Lumix. Kemudian diganti dengan kamera DSLR atas saran temannya.Tiga bulan pertama hasil fotonya hancur. Tapi karena ketekunan dan keinginan yang kuat untuk belajar, tidak membuatnya putus asa. Malah pertama motret, Ebbie belajar sendiri dari buku manual. Membuat catatan kecil dalam menguasai menu kamera dan menyimpannya di dalam dompet. Bisa di katakan Ebbie belajar secara otodidak.

Prinsip fotografi adalah memfokuskan cahaya dengan bantuan pembiasan sehingga mampu membakar medium penangkap cahaya. Untuk menghasilkan intensitas yang tepat di gunakan alat ukur berupa lighmeter. Seorang fotografi bisa mengatur intensitas cahaya tersebut dengan mengubah kombinasi ISO/ASA, diafragma, dan kecepatan rana.

Dalam mendapatkan foto yang cantik Ebbie berusaha menghindari penyuntingan. Baginya motret jangan mengandalkan software buat editing. Karena akan membuat fotografer menjadi asal-asalan belajar. Sebaiknya seorang fotografer berusaha menghasilkan foto bagus langsung dari kamera.

Ebbie dalam diskusinya tak lupa memperlihatkan hasil bidikannya. Banyak peserta diskusi yang bertanya bagaimana cara mendapatkan foto bagus. Misalnya, foto blur dengan diafragma yang besar maka latar belakangnya menjadi blur. Foto air terjun dengan air yang tenang dengan cara menggunakan kecepatan rendah.

Salah satu foto yang cukup menarik adalah foto kota Banggai yang Ebbie ambil dari atas bukit. Ebbie menyarankan meletakkan kamera pada tripod. Tripod akan memberikan kestabilan ke kamera dan membantu mengeliminasi kemungkinan foto kabur yang mungkin akan terjadi jika memotret dengan tangan. Dan memperkecil kekaburan menggunakan remote shutter release.

Idealnya waktu yang tepat untuk memotret landscape adalah di bawah jam 10.00 siang dan sesudah jam 03.00 sore. Karena pada saat itu sinar matahari masih lembut dan tidak terik. Posisi matahari di belakang pemotret.

Saat ini Ebbie Vebri Adrian mempunyai stok foto yang lumayan lengkap tentang Nusantara. Dalam menyewakan fotonya Ebbie menerapkan dua cara yaitu: pertama non eksklusif di mana semua orang bisa memakai foto tersebut seharga 1 sampai 7 juta perlembar foto. Kedua eksklusif hanya penyewa yang bisa memakai foto tersebut seharga 7 sampai 15 juta perlembar foto, itupun dalam jangka waktu tertentu.

Pencapaian prestasi Ebbie di bidang fotografi saat ini, butuh perjuangan besar. Kehidupan nomaden di jalaninya sejak 2005 sampai sekarang. Sehingga baginya Indonesia yang sedemikian luas adalah alamat tinggalnya. Tidak mudah menjalani kehidupan seperti itu dalam waktu yang lumayan panjang. Diakhir diskusi di kantor DKP Mamuju Ebbie berencana tahun 2012 untuk mengurangi dulu petualangannya untuk fokus menyelesaikan buku “INDONESIA” nya, membuat website, dan rencana hidupnya yang lain.

Sabtu, 9 Juli 2011 beberapa jam sebelum pembukaan Kemilau Sulawesi 2011, Ebbie Vebri Adrian melanjutkan perjalananya menuju menuju Kalimantan. Awalnya dia berniat mendokumentasikan acara pembukaan even tersebut, tapi karena dia melihat persiapan panitia tidak maksimal, dia putuskan untuk terbang ke Kalimantan. “Daripada saya terlambat menghadiri momen yang pasti dan lebih menarik, lebih baik saya segera berangkat,” dalih Ebbie

readmore »»

Menimba Ilmu dari Traveller Kawakan (Bagian 2)

.
0 komentar

Minggu, 3 Juli 2011, Ebbie Vebri Adrian mengunjungi mesjid tua di Lambanan. Mesjid tertua di Mandar. Ebbie ke sana sebab salah satu misinya adalah mengoleksi foto-foto mesjid tertua Nusantara, selain koleksi danau-danau Nusantara dan benteng-benteng Nusantara.

Mesjid Lambanang terletak 2km dari jalan poros provinsi. Terdapat di atas bukit, desa Lambanan Kec. Balanipa, Polman. “Mesjidnya rusak begitu nggak kepakai, nggak keurus” begitu sms dari Ebbie yang saya terima. Ada perasaan miris membaca sms tentang kondisi mesjid Lambanan.

Siangnya hunting foto lomba layang-layang di pantai Pambusuang, sekalian membagi ilmunya pada fotografer Polman. Perjalanan dilanjutkan ke Majene ke makam raja-raja Banggae, di belakang kompleks rumah jabatan Bupati Majene. Sorenya mendokumentasikan matahari tenggelam di di pantai Rangas. Sekali lagi, untuk membagi pengetahuan fotografi kepada beberapa fotografer Mandar, seperi Ical, Hamka, Irwansyah, dan Iwan.

Senin, 4 Juli 2011 diantar Farhan (koresponden Metro TV untuk Sulawesi Barat), Ebbie keliling kota Majene. Sebelum ke permandian air panas Limboro mereka menyempatkan diri mengunjungi Museum Mandar yang terletak di atas bukit bekas bangunan Rumah Sakit Majene. Saat tiba di permandian air panas Limboro, setelah menempuh perjalanan 7km dengan kondisi jalanan yang rusak, terbersit kekecewaan. Sebab apa yang dipromosikan tak sesuai dengan realitas.

Sebelumnya, saat Ebbie ke Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Majene, juga dia temuka kekurangprofesionalan SDM instansi di situ dalam mengelola pariwisata. Ya, ketika Ebbie meminta booklet wisata, sama sekali tidak ada.

Malamnya bertempat di gedung Tasha Center diadakan acara diskusi tentang fotografi. Acara itu merupakan acara kedua, setelah acara pertama di rumah Iwan di Tinambung. Acara dipandu oleh Farhan. Ada sekitar 50 orang yang hadir dalam acara diskusi. Iwan yang beberapa hari sebelumnya menemani terus Ebbie, sebelum acara menyempatkan menemui Ebbie karena dia harus ke Makassar. Selain pamit juga memberikan buku terbarunya, Mandar Nol Kilometer. Iwan juga memberikan bukunya itu kepada saya. Untuk itu, makasih ade Iwan.

Dalam acara diskusi Ebbie menekankan pentingnya komposisi dan sudut pengambilan gambar. Apalagi untuk fotografer pemula, dengan komposisi potensi sebuah foto dapat ditata dengan baik. Komposisi juga dapat membentuk adanya kesan ruang. Untuk memperoleh komposisi yang baik, seorang fotografer dituntut agar memiliki kepekaan tersendiri, yang dapat diperoleh melalui latihan secara tekun, serius, dan intensif. Tak lupa memperhatikan latar belakang karena mempunyai andil dalam hal mendukung atau malah menghancurkan objek foto.

Ebbie menekankan pembagian ruang menjadi tiga bagian yaitu bagian atas ke bawah dan dari pinggir kiri ke kanan. Mengatur garis-garis dan bentuk ke dalam pola yang harmonis. “Angle” adalah sudut pengambilan gambar. Penentuan “angle” secara tepat akan menghasilkan “shot” yang baik. Ini saya lihat pada foto air terjun Bantimurung. Ada yang unik dari foto Bantimurung yang Ebbie miliki. Karena penentuan angle yang tidak biasa, maka hasil foto Bantimurungnya menjadi beda dari fotografer lain.

Pada pengambilan “angle” normal, karena sudut pengambilan sejajar dengan objek, maka efek yang ditimbulkannya adalah pandangan normal atau seperti kita melihat langsung ke objek dengan mata kita. Ini saya lihat pada foto anak kecil di Baurung yang sedang memainkan kincir anginnya. Pada pengambilan sudut tinggi, letak kamera lebih tinggi dari objek sehingga kamera menunduk ke bawah. Itu saya lihat ketika Ebbie memotret pantai di Palippis.

Banyak hal yang diceritakan Ebbie malam itu. Tanya jawab terjadi dalam suasana santai. Banyak peserta yang kagum dengan foto-foto yang Ebbie perlihatkan. Akhir acara diskusi juga ditutup dengan foto bareng.

Selasa, 5 Juli 2011 Ebbie kembali menerapkan ilmunya di lapangan bersama fotografer Majene. Hunting foto di tempat yang di anggap menarik. Sore harinya Ebbie Vebri Adrian melanjutkan perjalanannya menuju Mamuju. Keberadaan Ebbie di Mamuju juga disambut pemerharti fotografi di sana. Pihak Koran Mandar dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Barat juga akan mengadakan diskusi fotografi.

readmore »»

Menimba Ilmu dari Traveller Kawakan (Bagian 1)

.
0 komentar

Jumat, 27 Mei 2011, jam 22.30 kembali saya menyaksikan talk show paling terkenal di Indonesia, Kick Andy. Kali ini berjudul “Kisah Para Petualang”. Walaupun saya seorang guru SD dan ibu rumahtangga, saya ada ketertarikan pada kegiatan berpetualang, khususnya aktivitas “backpacker” dan “traveller”. Saya berharap, suatu saat nanti saya bisa melakukan aktivitas tersebut.

Dalam acara Kick Andy tersebut, salah seorang yang diwawancarai ialah Ebbi Vebri Adrian. Dia berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan. Kemudian lanjut kuliah di dua perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Kehebatannya, Ebbie telah melakukan perjalanan 33 provinsi Indonesia dan telah mengunjungi lebih 1000 tujuan wisata dalam empat tahun terakhir. Dalam acara Kick Andy, Ebbie membagikan kisah pengalamannya yang menarik.

Tertarik dengan kisahnya, saya memintanya untuk berteman di facebook. Singkat cerita, lewat perteman di facebook, saya mendapat informasi bahwa dia akan ke Sulawesi Barat dalam waktu dekat. Sebagai orang Mandar, idealnya tamu harus dilayani dan dihormati. Di sisi lain, saya pribadi belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai destinasi yang menarik di Sulawesi Barat. Jadi, akan tidak maksimal memberinya informasi bila Ebbie datang ke Sulawesi Barat. Untung saya kenal saudara Muhammad Ridwan Alimuddin, yang akrab dipanggil Iwan Sandeq. Jadi, saya meminta bantuannya untuk berperan sebagai pemandu bila Ebbie datang ke Mandar. Syukurlah, Iwan juga sangat antusias.

Kamis, 30 Juni 2011 akhirnya Ebbie tiba di Pambusuang. Setelah melakukan perjalanan dari Maluku, Banggai, Luwu, Toraja, dan Sengkang. Ebbie tiba malam, saya menjemputnya bersama Iwan. Rencananya Ebbie akan nginap di Pambusuang, rumah mertua Iwan. Walau saya tinggal di Tinambung, saya tak melewatkan untuk menjemput kedatangannya.

Tahun 2005 Ebbie memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai petualangannya mengelilingi Indonesia. Menjual mobil dan menggunakan semua uang tabungannya untuk membiayai traveling-nya. Semula hal yang ingin dilakukannya itu tidak direstui keluarganya.

Ebbie ini tidak hanya sekedar berpetualang tetapi, juga memotret. Hasil jepretannya terdiri dari 100.000 koleksi foto cantik dan berharga. Angka yang cukup fantastis. Kemampuan memotretnya Ia dapatkan secara otodidak selama berpetualang. Disiplin ilmunya sendiri komputer dan ilmu pemerintahan. Yang kedua ini tampak tidak nyambung dengan dunia fotografer. Tapi begitulah, rata-rata fotografer kawakan dan terkenal bukan lulusan sekolah fotografi, tapi yang belajar otodidak. Misalnya Darwis Triadi yang awalnya seorang pilot. Untuk kelas Mandar, misalnya Iwan, yang dulu kuliah di kelautan.

Ketika uang tabungannya mulai menipis , Ebbie mulai berpikir untuk menjadikan koleksi fotonya dapat membiayai travellingnya. Foto hasil jepretannya dihargai cukup tinggi oleh beberapa perusahaan terkemuka. Untuk digunakan sebagai materi iklan maupun kartu pos. Foto-fotonya dapat dilihat di kemasan Teh Celup Sosro, brosur perumahan Alam sutra dan lain sebagainya.

Sebagai travel photographer, Ebbie berencana membagi pengalamannya selama berpetualang mengelilingi Indonesia ke dalam sebuah buku. Rencana judul bukunya “Indonesia”. Ya, memang Ebbie seorang nasionalis! Banyak sudah suka duka yang dialaminya selama menjadi traveller. Mulai dari pengalaman memotret hantu di makam raja-raja Palembang, pengalaman mistis di Mamasa hingga keberaniannya memakai koteka di pedalaman Irian.

Jumat, 1 juli 2011 Ebbie memulai harinya di Tanah Mandar. Berangkat dari rumah mertua Iwan di Pambusuang. Tujuan pertama adalah Palippis, kemudian Pantai Barane, Majene. Selama perjalanan Ebbie banyak bercerita mengenai pengalamannya berbaur dengan suku-suku yang ada di Irian Jaya. Setelah memotret sebentar di Pantai Barane, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Dato’. Dalam perjalanan menuju Dato’ mobil berhenti sebentar di Baurung karena ketertarikannya pada dua anak kecil di pinggir jalan yang sedang memainkan kincir angin yang terbuat dari bambu. Sambil memotret Ebbie mencoba menenangkan anak yang paling kecil, yang berusia sekitar 2 tahun untuk tetap bisa tenang memainkan kincir anginnya.

Tiba di Dato’ Ebbie, Iwan dan Abi mengambil gambar suasana pantai Dato’. Sepi di sana, Di sana Ebbie mencoba menjelaskan cara mengambil gambar yang baik dan pengelolaan lingkungan yang baik di mata wisatawan. Kami tak lama disana karena hari itu bertepatan dengan hari Jumat, kami pun kembali ke Tinambung. Setelah shalat Jum’at di Mesjid Raya Al Huriyyah dan makan nasi kuning di penjual bambu ke jalan arah Pa’giling, kami melanjutkan perjalanan menuju makam Todilaling di Desa Napo Kec.Limboro. Melelahkan juga. Tapi yang paling berkesan, walau saya lahir dan telah bertahun-tahun di Mandar, baru kali ini ke makam Todilaling. Itu gara-gara Ebbie. Untunglah.

Setelah mengambil beberapa gambar di sana, kami pun balik ke Pambusuang. Saya tak lam di Pambusuang, harus segera balik ke Tinambung bersama Aby. Menurut cerita Iwan, di Pambusuang Ebbie sibuk memotret penenun sutra dan suasana pantai Pambusuang.

Sabtu, 2 Juli 2011 Ebbie kembali memulai perjalanan dari rumah Iwan di Pambusuang menuju ke Polewali. Kali ini yang ikut saya dan Fauzi Rizal (Ical). Aby tidak ikut sebab tantenya menikah. Perjalanan agak terlambat dimulai sebab masalah mobil dan sopir. Untung ada ide untuk bertanya ke Ebbie, apakah dia bisa nyopir. Syukurlah dia bisa, jadi kami tak perlu cari sopir. Juga kami tak lupa berterima kasih kepada saudara Wildan yang meminjamkan mobilnya.

Tempat yang pertama dikunjunginya adalah Lembang Sitondo, di Kunyi, Polewali. Dari tempat permandian tersebut, selanjutnya kami menuju Pantai Mampie, di Wonomulyo. Ternyata, beberapa tahun yang lalu Ebbie telah pernah ke sana. Awalnya dia agak lupa. Nanti dia lihat beberapa tempat baru dia ingat. Sama seperti kasus Todilaling, saya juga baru pertama kali ke Mampie!

Suasana Mampie memang kurang indah, tapi Ebbie mengeluarkan dua kamera besarnya sekaligus untuk memotret suasana pantai dan kesibukan petani rumput laut.

Dari Mampie, selanjutnya menuju wisata alam Riso, di Tapango. Perjalanan Riso agak merepotkan, sebab harus tanya beberapa kali untuk tiba di sana. Belum lagi beberapa jalan ditutup karena ada pernikahan. Sangat merepotkan, selain jalanan yang tidak mulus. Sekitar jam lima, kami tiba di Riso. Untuk menuju air terjunnya, tepatnya di Kurra, dibatalkan sebab harus jalan kaki ke sana. Menurut penduduk setempat, jaraknya 3km. Meski demikian, suasana sungai yang melintas di Riso layak untuk dipotret. Iwan, Urwa (yang ikut sebelum menuju Kunyi), Ical dan Ebbie menuruni tebing sungai agar dapat ‘view’ yang menarik.

Akhirnya, kami balik ke Tinambung. Iwan dan Ebbie tidak singgah di Pambusuang. Alasan utama, tak ada yang bisa bawa mobil selain Ebbie, jadi harus tetap ke Tinambung. Alasan lain, nanti malam, sekitar jam delapan, akan diadakan diskusi fotografi di rumah Iwan, di Tinambung.

Bersambung …

readmore »»

AKU DAN SUNGAI MANDAR

.
3 komentar


Entah kenapa malam ini aku teringat masa kecil.Walau tubuh terasa letih setelah seharian beraktifitas.Tiba2 ada keinginan untuk menuliskannya,tulisan ini kupersembahkan untuk buah hatiku.Karena kutahu pengalaman buah hatiku tentang sungai Mandar tidak sama yang aku alami waktu kecilku.

Aku tahun 80an..., duduk di Sekolah Dasar.Pagi hari bangun tidur, dengan memakai sarung menuju sungai Mandar untuk Mandi.Pagi yang dingin kadang membuat aku bersama teman2 duduk sebentar di pinggir sungai, enggan untuk langsung menceburkan diri ke air sungai yang dingin.Kadang kami asyik mengobrol dulu, kadang kami di marahi oleh orang dewasa atau orang tua yang mendapati kami karena tidak langsung mandi.” Nanti terlambat ke sekolah” itu alasan mereka memarahi kami.

Kadang juga karena suatu “permainan” namanya “stempel patung”.
Cara permainannya seperti ini : di mulai dengan dua orang atau lebih saling menyentuhkan jempol untuk membuat ikatan/perjanjian.Siapa yang duluan melihat teman yang sudah dalam perjanjian, maka dia berhak untuk berteriak “patung” teman yang di teriaki seketika harus mematung.Dia harus terus mematung sebelum ada orang yang menyentuhnya.Dulu permainan ini hanya berlaku satu kali dalam sehari.Jadi untuk memperbaharuinya harus menunggu untuk besoknya.Pertemuan yang paling pas adalah di pinggir sungai, karena awal memulai hari.Kadang orang mematung(tanpa bergerak) harus dalam waktu yang cukup lama karena tidak ada yang menyentuhnya.Aku yang kadang apes kena teriakan “patung” dalam hati berharap ada yang berbaik hati untuk menyentuh.Kadang teman meninggalkan di pinggir sungai.Yang paling tidak enak kalau sementara memakai sabun di di wajah.Pas dapat teriakan patung maka rasakanlah pedih di mata karena harus langsung mematung, tanpa di beri kesempatan untuk membasuh wajah terlebih dahulu.Kadang aku atau teman yang dahulu tiba harus sembunyi terlebih dahulu di semak2 di pinggir sungai, menunggu “mangsanya’ datang.

Siang hari yang panas, tidak membuatku untuk tidak bermain.Menghabiskan hari di Sungai Mandar adalah salah satu tempat yang mengasyikan.Menunggu sepupunya kakek(kupanggil kanne juga) datang dari laut untuk meminjam sampan kecilnya.Karena aku tidak tahu mendayung, untunglah beliau mempunyai anak yang seumuran denganku yang lincah mendayung.Menyusuri muara Sungai Mandar sampai Lekopadis termasuk lumayan jauh untuk anak seumuran kami.Kadang berhenti di gundukkan pasir dan membuat benteng2 atau melumuri pasir di sekujur tubuh.Menangkap ikan buntal atau udang di pinggir sungai.

Sore hari ketika air pasang, kadang melompat di jembatan tua kesungai.Kadang dimarahi orang tua kalau ada yang memberitahu kalau aku melompat.Aku ingat pertama kali melompat aku ngeri sekali dan menutup mata,lama2 jadi terbiasa. Kadang kalau tidak melompat di jembatan, melompat di dahan2 pohon di pinggir sungai dan kadang menirukan gaya Tarsan yang berayun-ayun.

readmore »»