Kamis, 04 Agustus 2011

Menimba Ilmu dari Traveller Kawakan (Bagian 1)

.

Jumat, 27 Mei 2011, jam 22.30 kembali saya menyaksikan talk show paling terkenal di Indonesia, Kick Andy. Kali ini berjudul “Kisah Para Petualang”. Walaupun saya seorang guru SD dan ibu rumahtangga, saya ada ketertarikan pada kegiatan berpetualang, khususnya aktivitas “backpacker” dan “traveller”. Saya berharap, suatu saat nanti saya bisa melakukan aktivitas tersebut.

Dalam acara Kick Andy tersebut, salah seorang yang diwawancarai ialah Ebbi Vebri Adrian. Dia berasal dari Pagar Alam, Sumatera Selatan. Kemudian lanjut kuliah di dua perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Kehebatannya, Ebbie telah melakukan perjalanan 33 provinsi Indonesia dan telah mengunjungi lebih 1000 tujuan wisata dalam empat tahun terakhir. Dalam acara Kick Andy, Ebbie membagikan kisah pengalamannya yang menarik.

Tertarik dengan kisahnya, saya memintanya untuk berteman di facebook. Singkat cerita, lewat perteman di facebook, saya mendapat informasi bahwa dia akan ke Sulawesi Barat dalam waktu dekat. Sebagai orang Mandar, idealnya tamu harus dilayani dan dihormati. Di sisi lain, saya pribadi belum memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai destinasi yang menarik di Sulawesi Barat. Jadi, akan tidak maksimal memberinya informasi bila Ebbie datang ke Sulawesi Barat. Untung saya kenal saudara Muhammad Ridwan Alimuddin, yang akrab dipanggil Iwan Sandeq. Jadi, saya meminta bantuannya untuk berperan sebagai pemandu bila Ebbie datang ke Mandar. Syukurlah, Iwan juga sangat antusias.

Kamis, 30 Juni 2011 akhirnya Ebbie tiba di Pambusuang. Setelah melakukan perjalanan dari Maluku, Banggai, Luwu, Toraja, dan Sengkang. Ebbie tiba malam, saya menjemputnya bersama Iwan. Rencananya Ebbie akan nginap di Pambusuang, rumah mertua Iwan. Walau saya tinggal di Tinambung, saya tak melewatkan untuk menjemput kedatangannya.

Tahun 2005 Ebbie memutuskan untuk berhenti bekerja dan memulai petualangannya mengelilingi Indonesia. Menjual mobil dan menggunakan semua uang tabungannya untuk membiayai traveling-nya. Semula hal yang ingin dilakukannya itu tidak direstui keluarganya.

Ebbie ini tidak hanya sekedar berpetualang tetapi, juga memotret. Hasil jepretannya terdiri dari 100.000 koleksi foto cantik dan berharga. Angka yang cukup fantastis. Kemampuan memotretnya Ia dapatkan secara otodidak selama berpetualang. Disiplin ilmunya sendiri komputer dan ilmu pemerintahan. Yang kedua ini tampak tidak nyambung dengan dunia fotografer. Tapi begitulah, rata-rata fotografer kawakan dan terkenal bukan lulusan sekolah fotografi, tapi yang belajar otodidak. Misalnya Darwis Triadi yang awalnya seorang pilot. Untuk kelas Mandar, misalnya Iwan, yang dulu kuliah di kelautan.

Ketika uang tabungannya mulai menipis , Ebbie mulai berpikir untuk menjadikan koleksi fotonya dapat membiayai travellingnya. Foto hasil jepretannya dihargai cukup tinggi oleh beberapa perusahaan terkemuka. Untuk digunakan sebagai materi iklan maupun kartu pos. Foto-fotonya dapat dilihat di kemasan Teh Celup Sosro, brosur perumahan Alam sutra dan lain sebagainya.

Sebagai travel photographer, Ebbie berencana membagi pengalamannya selama berpetualang mengelilingi Indonesia ke dalam sebuah buku. Rencana judul bukunya “Indonesia”. Ya, memang Ebbie seorang nasionalis! Banyak sudah suka duka yang dialaminya selama menjadi traveller. Mulai dari pengalaman memotret hantu di makam raja-raja Palembang, pengalaman mistis di Mamasa hingga keberaniannya memakai koteka di pedalaman Irian.

Jumat, 1 juli 2011 Ebbie memulai harinya di Tanah Mandar. Berangkat dari rumah mertua Iwan di Pambusuang. Tujuan pertama adalah Palippis, kemudian Pantai Barane, Majene. Selama perjalanan Ebbie banyak bercerita mengenai pengalamannya berbaur dengan suku-suku yang ada di Irian Jaya. Setelah memotret sebentar di Pantai Barane, kami melanjutkan perjalanan ke Pantai Dato’. Dalam perjalanan menuju Dato’ mobil berhenti sebentar di Baurung karena ketertarikannya pada dua anak kecil di pinggir jalan yang sedang memainkan kincir angin yang terbuat dari bambu. Sambil memotret Ebbie mencoba menenangkan anak yang paling kecil, yang berusia sekitar 2 tahun untuk tetap bisa tenang memainkan kincir anginnya.

Tiba di Dato’ Ebbie, Iwan dan Abi mengambil gambar suasana pantai Dato’. Sepi di sana, Di sana Ebbie mencoba menjelaskan cara mengambil gambar yang baik dan pengelolaan lingkungan yang baik di mata wisatawan. Kami tak lama disana karena hari itu bertepatan dengan hari Jumat, kami pun kembali ke Tinambung. Setelah shalat Jum’at di Mesjid Raya Al Huriyyah dan makan nasi kuning di penjual bambu ke jalan arah Pa’giling, kami melanjutkan perjalanan menuju makam Todilaling di Desa Napo Kec.Limboro. Melelahkan juga. Tapi yang paling berkesan, walau saya lahir dan telah bertahun-tahun di Mandar, baru kali ini ke makam Todilaling. Itu gara-gara Ebbie. Untunglah.

Setelah mengambil beberapa gambar di sana, kami pun balik ke Pambusuang. Saya tak lam di Pambusuang, harus segera balik ke Tinambung bersama Aby. Menurut cerita Iwan, di Pambusuang Ebbie sibuk memotret penenun sutra dan suasana pantai Pambusuang.

Sabtu, 2 Juli 2011 Ebbie kembali memulai perjalanan dari rumah Iwan di Pambusuang menuju ke Polewali. Kali ini yang ikut saya dan Fauzi Rizal (Ical). Aby tidak ikut sebab tantenya menikah. Perjalanan agak terlambat dimulai sebab masalah mobil dan sopir. Untung ada ide untuk bertanya ke Ebbie, apakah dia bisa nyopir. Syukurlah dia bisa, jadi kami tak perlu cari sopir. Juga kami tak lupa berterima kasih kepada saudara Wildan yang meminjamkan mobilnya.

Tempat yang pertama dikunjunginya adalah Lembang Sitondo, di Kunyi, Polewali. Dari tempat permandian tersebut, selanjutnya kami menuju Pantai Mampie, di Wonomulyo. Ternyata, beberapa tahun yang lalu Ebbie telah pernah ke sana. Awalnya dia agak lupa. Nanti dia lihat beberapa tempat baru dia ingat. Sama seperti kasus Todilaling, saya juga baru pertama kali ke Mampie!

Suasana Mampie memang kurang indah, tapi Ebbie mengeluarkan dua kamera besarnya sekaligus untuk memotret suasana pantai dan kesibukan petani rumput laut.

Dari Mampie, selanjutnya menuju wisata alam Riso, di Tapango. Perjalanan Riso agak merepotkan, sebab harus tanya beberapa kali untuk tiba di sana. Belum lagi beberapa jalan ditutup karena ada pernikahan. Sangat merepotkan, selain jalanan yang tidak mulus. Sekitar jam lima, kami tiba di Riso. Untuk menuju air terjunnya, tepatnya di Kurra, dibatalkan sebab harus jalan kaki ke sana. Menurut penduduk setempat, jaraknya 3km. Meski demikian, suasana sungai yang melintas di Riso layak untuk dipotret. Iwan, Urwa (yang ikut sebelum menuju Kunyi), Ical dan Ebbie menuruni tebing sungai agar dapat ‘view’ yang menarik.

Akhirnya, kami balik ke Tinambung. Iwan dan Ebbie tidak singgah di Pambusuang. Alasan utama, tak ada yang bisa bawa mobil selain Ebbie, jadi harus tetap ke Tinambung. Alasan lain, nanti malam, sekitar jam delapan, akan diadakan diskusi fotografi di rumah Iwan, di Tinambung.

Bersambung …

0 comments

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar